Pesantren Sebagai Benteng Terakhir, Sekaligus Garda Terdepan

Mungkin menurut sebagian, kata-kata di atas terlalu lebay dan berlebihan. Tetapi tidak dengan seorang santri yang mengenal dunia pesantren. Kata “Pesantren” begitu luas untuk dibahas, terlalu sempit untuk diutarakan dengan tulisan maupun kata-kata. Karena tidak mudah untuk mengungkapkan perasaan yang lama tertanam di dalam jiwa, dan tertancap di dalam hati. Meski diuraikan dalam bahasa, namun uraian itu hanya mewakili sebagian kecil saja dari dunia pesantren. Betapa tidak? Karena yang dapat merasakannya hanyalah orang-orang yang menghabiskan hidupnya di pesantren dan mengabdikan dirinya untuk pesantren. Baik ketika ia berada di lingkungan pesantren atau di luarnya.

Wajar jika KH. Saifuddin Zuhri menulis sebuah buku autobiografi yang berjudul “Berangkat Dari Pesantren”, karena pesantren merupakan pondasi utama yang semua bangunan bertumpu di atasnya. Beliau membahasakan fungsi pesantren dengan bahasa demikian: “Pesantren mempunyai daya tahan menghadapi segala arus yang masuk. Ada semacam pembendung terhadap anasir (unsur-unsur) yang merusak, suatu kekuatan pembendung yang terjadi dengan sendirinya dari unsur-unsur yang dimiliki pesantren. Semacam jaringan refinery atau filter yang menyaring apa yang boleh masuk dan apa yang harus terhenti di gerbang pesantren.”

Uraian tersebut menggambarkan betapa pentingnya peranan pesantren bagi masyarakat luar yang terkadang kurang jeli terhadap arus deras yang mendorong bahkan mengalahkan pondasi-pondasi yang dimiliki. Terutama dalam zaman milenial ini, segala informasi dapat diakses, warna-warninya pemahaman memenuhi beranda media sosial, tanpa adanya filter yang menyaring berita-berita hoax dari berita-berita yang benar, atau tanpa memfilter mana ajaran-ajaran yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman dan mana yang bertentangan. Nah, pesantren itulah yang sebenarnya menjadi benteng utama dalam memerangi faham-faham yang membahayakan keutuhan bangsa, negara dan agama kita. Kyai Saifuddin Zuhri menggambarkan kondisi pesantren pada tahun 30 an, jauh sebelum kemerdekaan. Meski demikian, pesantren sudah mampu menanamkan nasionalisme dalam diri para santri agar mereka mencintai tanah airnya, dan mempertahankannya. Yang terejawantahkan dalam gerakan-gerakan dan upaya-upaya kalangan santri untuk melawan penjajah, terciptanya kemerdekaan Republik Indonesia dan terrealisasikan dalam Resolusi jihad yang digaungkan pada tanggal 22 oktober 1945. Dan alhamdulillah sekarang diabadikan dengan Hari Santri Nasional. Satu kenikmatan yang patut disyukuri.

“Dunia Pesantren tidak lagi hanya mementingkan denyut aspirasi orang-orang dalam lingkungan dindingnya, tetapi turut melangkah ke luar menyertai saudara-saudara senasib dan sepenanggungan. Pesantren bukan hanya berfungsi sebagai benteng yang diam ditempat, akan tetapi juga berfungsi semacam benteng stelselnya de Cock ketika menghadapi Perang Diponegoro. Ia ikut mengambil peranan sebagai benteng yang bergerak.” Maka pesantren sebenarnya memiliki dwi fungsi dalam pertahanan, pertahanan untuk lingkungan di dalam pesantren dan pertahanan di luar pesantren.

Sebagai bukti bahwa Pesantren sebagai Garda terdepan dalam mempertahankan keutuhan NKRI adalah sebagai berikut: “Gema pergerakan dan semangat Nasionalisme berkumandang lebih luas. Kaum pesantren memandang bahwa semangat kebangsaan ini merupakan muqoddimah dari perjuangan kemerdekaan Tanah Air yang oleh dunia pesantren dipandang sebagai syarat mutlak untuk mencapai Izzul Islam wal Muslimin (kebahagiaan dan kejayaan Islam serta ummatnya).” [Saifuddin Zuhri, Guruku orang-orang dari Pesantren, 125-126]. Maka, apakah masih diragukan nasionalisme dan kecintaan tanah air yang dimiliki oleh pesantren yang dari dulu-dulu jauh sebelum kemerdekaan sudah mengakar kuat dan menancap dalam-dalam di dalam hati masing-masing santri?. Yang tidak tentu dimiliki oleh selain kalangan pesantren. Tentu ini merupakan PR bagi kita semua agar memupuk jiwa santri agar ia sadar bahwa tantangan ke depan lebih berat dari pada tantangan sebelumnya. Jika santri dahulu berjuang melawan penjajah untuk mencapai kemerdekaan. Maka, santri di zaman milenial ini tugasnya adalah berjuang untuk mempertahankan. Karena “merdeka berarti 1000 perjuangan”. Perjuangan santri tidak berhenti dan tidak akan berhenti. Ia diibaratkan seperti air, dimana ia menyesuaikan tempat di mana ia berada. Ia bisa lembut ketika keadaan negaranya kondusif, dan sebaliknya ia akan melahap apa saja bagaikan tsunami jika ada yang berusaha menghancurkan negaranya. Karena nasionalisme santri tidak akan diragukan.

Oleh: Abdul Aziz Jazuli

Leave a Comment

Start typing and press Enter to search