Berangkat dari perkataan Imam Syatibi:
كان العلم في صدور الرجال ثم انتقل إلى الكتب ومفاتحه بأيدي الرجال
“Dulu ilmu berada di dalam diri ulama, kemudian berpindah ke kitab-kitab. Dan kunci-kuncinya ada di tangan ulama”
Sampai saat ini masih demikian. Tapi akhir-akhir ini, kesannya sudah berbeda. Dalam arti: yang berada di tangan mereka bukan kunci ilmu, tapi gembok ilmu, di dalam banyak kesempatan. Mereka mengaku berijtihad tapi pada dasarnya adalah pemahaman kaku terhadap teks (literal). Tanpa membedakan mana berfikir bebas dan mana berfikir salah. Mengekang pemikiran, melarang taklid kepada Imam empat, untuk bertaqlid kepada dirinya, dengan penamaan mengikuti dalil, mengaku berijtihad atas kitab dan sunnah, bukan kepada tokoh. Padahal mereka dibutakan oleh pandangan-pandangan mereka dengan metode pemahaman atas keduanya.
Mereka larang telaah atas turots di bawah Syiar:
من كان شيخه كتابه غلب غلطه صوابه
“Barang siapa yang gurunya adalah kitabnya, maka kesalahannya mengalahkan kebenarannya”
Padahal, seorang ulama yang menjadi puncak tugasnya adalah memberikan kunci gudang-gudang ilmu pengetahuan. Dan ilmu tidaklah kecuali berada di dalam gudang-gudang tersebut (kitab). Mereka tanamkan pemahaman yang dangkal yang bersifat tekstual. Bagaimana tidak dikatakan bahwa merekalah sebenarnya orang-orang yang menjadi “gemboknya ilmu”.
Oleh : Ust. Abdul Aziz Jajuli. Lc