Sistem Sanad dalam Periwayatan Hadist

Sistem Sanad dalam Periwayatan Hadist Suatu Metode pencegahan atas Berita Hoax

Akhir-akhir ini dunia maya banyak dimunculkan informasi dan berita palsu atau lebih dikenal dengan istilah “Hoax” oleh sejumlah oknum yang tidak bertanggung jawab. Jika tidak ada kehati-hatian, para pengguna media sosialpun dengan mudah termakan tipuan hoax tersebut bahkan ikut menyebarkan informasi palsu itu, tentunya berita palsu ini akan sangat merugikan bagi pihak korban fitnah. Lalu bagaimana caranya agar tak terhasut?

Dalam hal ini, agama Islam sendiri mempunyai metode untuk mencegah berita hoax yang sedang marak di media sosial. Metode tersebut terbingkai dalam kajian ilmu hadis, yakni yang disebut sistem Sanad. Pemakaian sanand dalam Islam itu sendiri tidak ada keterangan detail kapan dan siapa yang pertama kali memakai sistem sanad dari generasi pertama Islam (Sahabat).

Ketika Rasullah saw masih hidup, kebanyakan para sahabat tidak terlalu mementingkan persoalan sanad. Karena mereka masih saling mempercayai, menjaga, dan komitmen dalam keislaman mereka. Para sahabat sudah terbiasa meriwayatkan hadis ketika Nabi Muhammad saw masih hidup, mereka yang hadir dalam majelis pengajian Nabi Muhammad saw selalu memberi tahu hal-hal yang mereka dengar dalam pengajian kepada sahabat yang tidak hadir dalam majelis pengajian tersebut. Dan para sahabat juga selalu menuturkan sumber-sumber berita yang diterimanya, baik Nabi Saw maupun sahabat yang lain. Apabila yang meriwayatkannya bukan Nabi, maka dengan sendirinya mereka meyebutkan sumber Hadis tersebut. Inilah yang sebenarnya yang disebut pemakaian sanad.

Penggunaan sanad pada masa Nabi itu masih sederhana, namun sebelum akhir abad satu Hijriyyah, sistem sanad telah berkembang hingga Syu’bah selalu memperhatikan dan mendengarkan apa yang diucapkan gurunya Qatâda (w. 177 H), ketika meriwayatkan hadis Qatâda mengatakan, haddatsanâ maka Syu’bah mencatat hadisnya, apabila Qatâda mengatkan Qâla maka Syu’bah diam dan tidak mencatatnya, hal ini dilakukan karena sangat hati-hati dalam menerima riwayat hadis. Penggunaan sanad dalam periwayatan hadis menjadi penting karena hadis adalah salah satu sumber ajaran Islam yang tentu keasliannya harus dijaga antara lain dengan menjaga kevalidan sanad itu sendiri.

Namun urgensi sanad ini terlihat penting dalam Islam khususnya periwayatan hadis, sehingga berkembang sistem sanad ini. Ibn al-Mubârak (w. 181 H/797 M) mengatakan bahwa sistem sanad itu merupakan bagian dari Islam. Agama Islam sendiri yang mengajarkan umatnya untuk mencari kebenaran dan mencari kepastian terhadap apa yang didengar dan diriwayatkan oleh seseorang, Seperti firman Allah:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (Q.S Al-Hujarât: 6).

Sistem periwayatan sanad dalam Islam sendiri begitu penting lantaran ancaman Nabi yang sangat berat terhadap orang-orang yang berdusta atas nama Nabi, sehingga menjadikan para sahabat dalam meriwayatkan hadis sangatlah hati-hati dan teliti. Ancaman tersebut misalnya:

حَدَّثَنَا مُوسَى قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَسَمَّوْا بِاسْمِي وَلَا تَكْتَنُوا بِكُنْيَتِي وَمَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ فِي صُورَتِي وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Begitu pentingnya sistem sanad dalam mencerna suatu berita, tidak sedikit para lama berkomentar terkait sistem sanad ini. Semisal Ibnu Sîrîn (w.110 H) berkata:

لم يكونوا يسألون عن الاسناد فلما وقعت الفتنة قالوا سموالنا رجالكم فينظرو إلى أهل السنة فيؤخذ حديثهم وينظر الى أهل البدع فلا يؤخذ حديثهم

“Dulu para ulama tidak pernah bertanya tentang sanad. Namun ketika terjadi fitnah, mereka pun berkata: Sebutkan pada kami rijal kalian. Apabila ia melihat rijâl tersebut dari kalangan Ahl al-Sunnah, maka diterima hadisnya, dan jika dari kalangan Ahl al-Bid’ah, maka tidak diterima”

Perkataan Ibnu Sîrîn tersebut merupakan tanggapan terhadap keadaan umat Islam pasca al-Fitnah al-Kubrâ, ketika terbunuhnya ‘Usmân ibn Affân. Kondisi geopolitik Islam telah mengalami perkembangaan, pada awalnya umat Islam bersatu, namun terpecah menjadi berbagai kelompok yang bertentang satu dengan yang lainnya bahkan saling bunuh-membunuh. Mereka mengklaim satu sama lain bahwa dirinya yang paling benar dan sesuai dengan ajaran Rasullah saw. Yakni al-Qur’an. Bahkan muncul berbagai macam hadis yang sebelumnya tidak ada pada zaman Nabi maupun zaman Sahabat.

Ketika itu, orang-orang sangat ktiris terhadap sanad sebuah ungkapan yang dikatakan sebagai hadis. Mengingat hadis sebagai salah satu sumber hukum Islam, maka sangat wajar jika umat Islam sangat besar perhatiannya terhadap sistem sanad. Mereka berusaha mencari informasi orang-orang yang menyampaikan atau meriwayatkan hadis, serta membahas kebenaran tersebut.

Dari uraian diatas, dapat pahami bagaimana cara agar tidak terhasut berita hoax. Yaitu dengan cara mencari kebenaran terlebih dahulu tentang sumber berita tersebut, apakah sumber tersebut dapat di percaya atau malah sebaliknya. Agar tidak mudah terhasut berita hoax.

Wallahu’alam…

Ditulis oleh Kholik Ramdan Mahesa. Penulis adalah Mahasiswa UIN Jakarta .

Leave a Comment

Start typing and press Enter to search