SARANA UMRAH HAJJ – Sejarah merupakan informasi yang sangat penting untuk diketahui. Karena ia uraikan secara detail segala kejadian yang terjadi di masa lalu. Menggambarkan fenomena yang terjadi di masa silam. Yang mungkin sengaja dilupakan atau terlupakan karena tiada ketertarikan generasi selanjutnya. Tapi, sejarah bukan hanya informasi dan pengetahuan masa silam. Namun ia adalah sebuah realita yang patut dipelajari hikmah-hikmah dan pembelajaran yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Sehingga Ibnu Kholdun -seorang ulama, pakar sejarah, dan kehidupan sosial, asal Maroko- menyatakan:
إن التاريخ في ظاهره لا يزيد عن الإخبار، ولكن في باطنه نظر وتحقيق.
(Sejarah, dipandang dari sisi dhohirnya tak lebih dari sekedar informasi, tapi terdapat pandangan dan pendalaman Pengetahuan)
Tentu kita sadar akan pentingnya mengetahui sejarah. Bahkan Syeh Al Buthi menulis sebuah buku tentanhmg Fiqih Siroh (Fiqih Sejarah). Namun, Al Buthi tidak hanya menyebutkan kajian-kajian Fiqih yang bersumber dari sejarah. Tapi segala hal yang dapat dipetik dari sejarah tersebut. Dan saya pernah menguraikannya dalam sebuah tulisan yang pernah saya tulis beberapa tahun lalu (Silahkan dibuka di sini: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1693280234247606&id=1681704185405211 ) Saya rasa, tulisan tersebut sudah mewakili esensi dari buku Fiqih Sirohnya Al Buthi.
Di sini sedikit saya uraikan mengenai sejarah yang memiliki peranan besar di dalam penggalian hukum. Sebagai bukti adalah Al Syafii yang menyatakan bahwa Ayat Wasiat (Al Baqoroh: 180) di mana ayat tersebut menyatakan bahwa Wasiat kepada kedua orang tua dan para kerabat hukumnya adalah wajib. Namun, ayat tersebut dihapuskan dengan Ayat Warisan (An Nisa’ : 11-12). Dan yang menguraikannya adalah hadist “Laa washiyyata li waristin” (Tidak diperbolehkan wasiat kepada ahli warist). Namun sayang, hadist ini didapati oleh Syafii merupakan hadist yang lemah karena di dalamnya terdapat keterputusan (inqitho’) dalam sanadnya. Sehingga, dengan demikian hadist tersebut tidak dapat dijadikan sebagai argumen yang kuat. Namun, pandangan Al Syafii tidak menolaknya mentah-mentah, tapi ia lihat ternyata para pakar sejarah berkonsensus bahwa hadist tersebut memang dikatakan oleh Rasulullah. Sehingga, dengan dasar konsensus (Ijma) para pakar sejarah dan amalan mayoritas ulama maka hadist tersebut dapat diterima [Risalah Al Syafii: Paragraf 393-404)
Kita perhatikan langkah Al Syafii tersebut bahwa sejarah juga memiliki peranan dalam proses penggalian hukum, dan secara spesifik dapat menguatkan hadist yang lemah. Dan perspektif inilah merupakan realita yang dialami oleh madzhab Syafii yang sampai saat ini perlu dikembangkan secara lebih maksimal. Karena saya perhatikan bahwa mempelajari dan memahami sejarah secara utuh sudah mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Padahal manfaatnya begitu besar dalam kehidupan yang -mungkin- tidak disadari atau terlupakan.
Abdul Aziz Jazuli
15 Nov 2017