Pada Sabtu 12 Juni 2021 Kementerian Haji Dan Umrah Arab Saudi mengumumkan bahwa kuota jamaah haji 2021 M/1442 H hanya 60.000 orang yang dikhususkan bagi orang yang sudah berada di Arab Saudi, baik warga Arab Saudi atau ekspatriat (orang asing yang kini sudah berada di Arab Saudi). Dengan kata lain, bukan hanya Indonesia, tapi tidak ada satu negara pun yang dapat mengirimkan jamaah hajinya. Dengan kata lain lagi, Arab Saudi tidak memberikan kuota haji kepada negara mana pun pada tahun ini.
Pengumuman ini memastikan bahwa pembatasan penyelenggaraan haji tahun tersebut adalah murni karena pandemi Covid-19 yang belum dapat dikendalikan. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa beberapa hal yang diisukan belakangan ini seperti dana haji habis terpakai untuk membangun jalan tol dan pemerintah Indonesia gagal mendapat kuota haji karena diplomasinya lemah tidaklah menjadi dasar keputusan Pemerintah Indonesia untuk tidak memberangkatkan jamaah haji tahun ini.
Kecewa memang kecewa, tapi mau bagaimana lagi. Seperti inilah respon jamaah haji Indonesia pada umumnya, juga stakeholders haji lainnya. Jamaah yang seharusnya berangkat pada 2020 lalu, kini tertunda lagi, dan jamaah yang antri untuk tahun-tahun berikutnya pun otomatis mundur keberangkatannya. Padahal, banyak di antara mereka telah menunggu sekitar 10 tahun sejak mereka mendapatkan porsi haji, yaitu setelah menyetorkan uang Rp.25.000.000 ke rekening haji. Terselip harapan yang terbalut kekhawatiran, semoga “masih ada umur” saat tiba waktunya pergi haji.
Pengumuman Pemerintah Arab Saudi tersebut menegaskan bahwa kesehatan, keselamatan, dan keamanan jamaah merupakan faktor utama yang melandasi keputusan mereka. Dari sudut pandang fiqh, kebijakan ini di antaranya merupakan penerapan dari kaidah fiqh, “Dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih.” Artinya, “Mencegah terjadinya bahaya itu harus diutamakan daripada mengejar laba.” Dalam hal, yang dimaksud dengan laba adalah diraihnya pahala mengerjakan haji, dan yang dimaksud dengan bahaya adalah masuknya jamaah haji ke kondisi kemungkinan terpapar oleh virus Covid-19.
Berkaitan dengan kaidah fiqh tersebut, di dalam kitab al-Qawa’id al-Fiqhiyyah Bayna al-Ashalah Wa Al-Tawjih (h. 107), Muhammad Bakr Isma’il mengatakan bahwa jika ada pertentangan antara kerugian dan keuntungan dari melakukan sesuatu, maka ancaman kerugian itu harus dihilangkan terlebih dulu sebelum mencari potensi keuntungan. Sebab, menghilangkan ancaman kerugian itu pada kenyataannya mendatangkan dua keuntungan, yaitu hilangnya efek negatif dari bahaya itu terhadap pencapaian keuntungan, plus tercapainya keuntungan tersebut.
Isma’il mengatakan juga bahwa para ulama terkadang menyebut kaidah itu dengan rumusan, “al-takhliyah qabla al-tahliyah”. Artinya, membersihkan diri itu harus dilakukan sebelum menghiasi diri. Maksudnya, menghilangkan penghalang diraihnya suatu manfaat harus dilakukan agar manfaat itu dapat diraih secara sempurna. Jika penghalang itu tidak disingkirkan, maka ia dapat membesar, bahkan memicu bahaya lain yang membuat manfaat yang diharapkan dari sesuatu tersebut justru tidak dapat diraih baik di dunia maupun akhirat.
Amru Khalid, seorang penulis berkebangsaan Mesir yang bukunya sudah banyak diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, seperti Pesona Al-Qur’an, Buku Pintar Akhlak, dan Menjernihkan Hati, di dalam situs pribadinya menulis artikel yang menjelaskan 10 perbuatan yang pahalanya sebanding dengan pahala haji dan umrah. Jadi, dengan mengerjakan amalan-amalan ini, seseorang dapat “pergi haji tanpa pergi haji”.
Pertama, pergi ke masjid untuk mengikuti pengajian atau untuk mengajar. Di dalam hadis diterangkan, “Orang yang pergi ke masjid dengan niat semata-mata untuk mempelajari atau mengajarkan kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala haji yang sempurna.”
Kedua, pergi ke masjid dalam keadaan sudah berwudhu untuk mengerjakan salat fardu. Di dalam hadis, “Orang yang keluar dari rumahnya, lalu dia sudah bersuci, untuk mengerjakan salat fardu, maka pahalanya seperti orang yang mengerjakan haji. Sedangkan orang yang keluar untuk mengerjakan salat Dhuha, dia dia mengerjakannya hanya untuk itu, maka pahalanya seperti orang yang mengerjakan umrah.” (HR. Abu Dawud)
Ketiga, salat Subuh berjamaah di masjid, lalu berzikir sampai matahari terbit, lalu diam beberapa waktu, lalu salat Dhuha. Di dalam hadis, “Orang yang mengerjakan salat Subuh secara berjamaah, lalu duduk untuk berzikir sampat matahari terbit, lalu salat dua rakaat, maka baginya pahala seperti pahala haji dan umrah yang sempurna, sempurna, sempurna.” (HR. al-Tirmidzi)
Keempat, karena pahala haji adalah masuk surga dan diampuninya dosa sebagaimana diterangkan oleh hadis, “Haji yang mabrur itu pahalanya surga.” (Muttafaq ‘alaih) dan di antara amalan yang pahalanya seperti itu adalah memandikan jenazah dengan menutupi auratnya seperti diterangkan dalam hadis, “Orang yang memandikan jenazah, lalu menutupinya, maka Allah akan mengampuninya empat puluh kali.”
Kelima, membaca wirid pada waktu siang, malam, atau di bulan itu:
لا إله إلا الله والله أكبر لا إله إلا الله وحده لا إله إلا الله لا شريك له لا إله إلا الله له الملك وله الحمد لا إله إلا الله ولا حول ولا قوة إلا بالله
Di dalam hadis diterangkan, “Orang yang membaca wirid ini pada siang, malam, atau di suatu bulan, lalu dia meninggal dunia pada hari itu, atau pada malam itu, atau pada bulan itu, maka dosanya diampuni.”
Keenam, menyempurnakan wudhu serta membaca zikir setelahnya. Di dalam hadis diterangkan, “Jika seseorang di antara kalian berwudhu dengan sempurna, lalu mengucapkan:
أشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبد الله ورسوله
Maka delapan pintu surga dibukakan untuknya untuk dia masuki dari yang mana saja dia mau.”
Ketujuh, menjawab bacaan azan dengan merenungi maknanya. Abu Hurairah berkata, “Kami bersama Rasulullah Saw, lalu Bilal mengumandangkan azan. Ketika Bilal diam, Rasulullah Saw bersabda, ‘Orang yang mengucapkan seperti (ucapan Bilal) ini disertai dengan keyakinan, maka dia akan masuk surga.”
Kedelapan, mengerjakan 12 rakaat salat sunah rawatib. Di dalam hadis diterangkan, “Tidaklah seorang muslim mengerjakan 12 rakaat salat sunah karena Allah setiap hari, kecuali Allah akan membangun untuknya rumah di surga.” (HR. Muslim)
Kesembilan, salat tahajjud, mengucapkan salam, dan bersedekah makanan. Di dalam hadis diterangkan, “Di dalam surga terdapat rumah-rumah yang bagian luarnya terlihat dari dalam dan bagian dalamnya terlihat dari luar yang disediakan oleh Allah bagi orang yang bersedekah makanan, membiasakan puasa sunah, dan salat malam ketika orang-orang lain terlelap.”
Kesepuluh, membaca Sayyid al-Istighfar pagi dan sore. Di dalam hadis diterangkan, “Sayyid al-Istighfar adalah ucapan:
اللهم أنت ربي لا إله إلا أنت خلقتني وأنا عبدك وأنا على عهدك ووعدك ما استطعت أبوء لك بنعمتك وأبوء بذنبي فاغفر لي فإنه لا يغفر الذنوب إلا أنت أعوذ بك من شر ما صنعت
Jika seseorang membaca doa ini di sore hari, lalu dia meninggal dunia, maka dia akan masuk surga.” (HR. al-Bukhari).
Itulah di antara amalan yang pahalanya sebanding dengan pahala haji. Pergi haji jelas merupakan idaman setiap umat Islam. Hati mereka merindukan ziarah ke Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, memandang Ka’bah dan makam Rasulullah SAW. Saat ibadah ini tidak dapat dilakukan pada musim haji tahun ini, keterangan dari hadis tentang amalan yang pahalanya sebanding dengan haji tersebut mudah-mudahan menjadi sedikit pelipur lara bagi para jamaah haji yang bersedih karena tertunda kepergiannya pada tahun ini.