Dzikir merupakan sebuah rutinitas yang diridhoi Allah swt. bahkan Allah memerintahkan tidak hanya dalam satu ayat:
{فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ (152)} [البقرة: 152]
“Maka dzikirlah kalian semua kepadaku, maka aku akan mengingat kalian semua, dan bersyukurlah kalian kepadaku dan jangan sekali-kali kufur kepadaku”.
Sehingga, kita disunnahkan bahkan diwajibkan menurut sebagian ulama untuk berdzikir kepada Allah setiap harinya. Karena begitu banyak faidah dari dzikir, bahkan dapat menangkal datangnya hari Kiamat. Dalam sebuah hadist Rasulullah saw bersabda:
لا تقوم الساعة حتى لا يقال في الأرض الله الله
“Tidak datang hari kiamat, sehingga tidak ada yang menyebut di bumi: Allah Allah” (HR. Tirmidzi, Nasa’i, dan Darimi. Dan Imam Tirmidzi menyatakan: ini adalah hadist Hasan)
Al Imam al Qusyairi berkata: “Dzikir adalah rukun yang kuat di dalam toriqoh menuju Allah, bahkan ia adalah hal yang substantif, seseorang tidak dapat mencapai wushul kepada Allah kecuali dengan berdzikir” [Ar-Risalah Al Qusyairiyyah, hlm 270].
Namun yang sedang ramai diperbincangkan saat ini di media adalah bagaimana berdzikir dengan dhomir “هو هو”?
Sebagian kalangan menyatakan dzikir itu tidak boleh dengan argumentasi ketiadaannya di dalam al-Qur’an, Al Hadist dan tidak terdapat di kalangan ulama salaf. Mungkin hanya itu yang baru mereka ketahui dan mereka capai.
Perlu diketahui bahwa ilmu tasawwuf yang mencakup ilmu toriqoh merupakan ilmu yang berdasarkan atas “dzauq” (rasa). Acapkali ulama-ulama dhohir menentangnya dan tidak menyetujuinya. Sehingga muncul istilah “ulama dhohir” dan “ulama bathin”. Kenapa? Karena cakupan keilmuan dan obyek yang digeluti tiap harinya berbeda. Di dalam ilmu bahasa Arab, Imam Ibnu Faris di dalam kitab Mu’jam Maqoyisil Lughoh (6/3), ketika membahas tentang kata “هو” : “Kalimat itu asalnya adalah ha’ yang didhommahkan kepada huruf wawu. Dan sebagian orang Arab membacanya dengan “هُوَّ” (huwwa), dan di antara orang Arab ada yang mensukunkan wawu “هُوْ”. Sehingga dengan ini, pembacaan “Huwa” menjadi “Hu” adalah sah menurut bahasa Arab.
Jika dalam bahasa Arab pembacaannya sudah dinyatakan sah, maka penulis akan menyebutkan beberapa redaksi dari para ulama yang menggunakan bacaan dzikir dengan redaksi tersebut.
a/ Syeh Abdul Qodir Al Jailani, ulama Toriqoh yang paling populer dari yang lainnya, beliau adalah ulama yang diakui di dalam madzhab Hanbali. Dinyatakan di dalam kitabnya At-Toriq Ila Allah (hal 31) ketika membahah tentang al-asma’ as-sab’ah: “Nama yang ketiga adalah “Hu” , jumlah pembacaannya adalah 44.630 kali.”. Apakah Syeh Abdul Qodir Al Jailani ngarang-ngarang dengan berdzikir dengan redaksi ini?
b/ Imam Abu Bakr Ibnul Arobi Al Mu’afiri Al Isybili (w. 543 H) mengutip ucapan dari Imam Ibnu Furok: “Ucapanmu “Hu” adalah kalimat yang tersusun dari dua huruf: Ha’ dan ia termasuk huruf halaq (tenggorokan), dan huruf wawu dan ia termasuk huruf syafatain (dua bibir). Tenggorokan adalah awal dari tempat-tempatnya huruf, sementara dua bibir adalah akhir huruf, itu menunjukkan bahwa dari Allah segala permulaan dan kepadanya ujung dari semuanya. Ini adalah kajian-kajian tasawwuf yang dikelilingi dengan ilmu hakikat, walaupun kalian mungkin tidak terlalu suka dengannya. Dan imam Ibnu Furok adalah salah satu dari imam dari para imam tasawwuf.” (Al Amadul Aq Sho fi Syarhi Asma’illahil Husna, vol. 1/ hlm 238).
c/ Imam Abul Qosim Al Qusyairi (w. 465 H), beliau berkata di dalam Syarah Asma’il Husna (hlm 71): “Ketahuilah bahwa “Huwa” adalah nama yang digunakan untuk isyarat, dan menurut para ulama sufi itu merupakan pemberian informasi ketika sampai pada puncak hakikat. Kata tersebut menurut ulama dhohir memerlukan sambungan yang memberikan ketetentuan agar kalam menjadi berfaidah; karena jika engkau katakan “Huwa” (dia) kemudian diam, maka redaksinya tidak berfaidah. Tetapi menurut ulama sufi, jika engkay mengatakan “huwa/hu”, maka tidak ada yang mendahului hati mereka selain menyebut Allah, mereka sudah tidak memerlukan penambahan keterangan; karena mereka sudah terlebur dalam hakikat-hakikat kedekatan dengan sebab dzikir kepada Allah di hati.”
d/ bahkan tidak hanya terbatas dengan bacaan “hu”, tetapi dengan bacaan yang lain juga diungkapkan oleh Syeh Abdul Wahhab Al Sya’roni: “Terkadang terucap bagi lisan seorang yang berdzikir: Allah-Allah-Allah, hu-hu-hu (هو هو هو), la-la-la, (لا لا لا)”, Ah-ah-Ah (آه آه آه), ‘a-‘a-‘a (عا عا عا), a-a-a (آ آ آ), hu-hu-hu (هُ هُ هُ), ha-ha-ha (ها ها ها), atau bahkan suara tanpa huruf atau dengan huruf yang tidak karuan.” (Al Anwarul Qudsiyyah, hlm 24).
Benar yang dikatakan di dalam hikmah, ilmu itu adalah musuh bagi orang yang tidak mengetahuinya. Karena ilmu ini adalah ilmu rasa (ilmu dzuqiy), sehingga jangan mudah untuk menyalahkan atau menuduh sesat; karena siapa tau yang tertuduh justru ialah yang benar, sementara penuduhlah yang salah bukan?
Cinangka, 18/11/2019
Oleh : Ust. Abdul Aziz Jazuli, Lc