Kenapa Ada Nasehat Untuk Ilmu ?

Tidak tau kenapa yang berputar putar dalam pikiran saya adalah soal ilmu. Apakah ia memang penting dalam kehidupan manusia? Sehingga ia disebut, disanjung, diagungkan dan dipuja dimana-mana. Bahkan lebih dari itu, banyak karya tulis yang secara khusus membahas tentang keutamaannya. Juga dengan kisah tokoh-tokoh yang memiliki ilmu, kisah kesedihan mereka dalam menimba ilmu, memperjuangkan ilmu, dan mengumpulkan ilmu. Bahkan, jika ditotalkan buku-buku keilmuan dari berbagai bidang sangatlah banyak, puluhan ribu jilid kalau tidak jutaan, dari berbagai kajian, dan dengan bahasa yang bervariasi. Itu semua tentu menunjukkan satu hal yang luar biasa, tidak hanya biasa. Jika kita perhatikan, banyak tokoh luar negeri yang datang ke negeri kita ini, sangat dihargai, dimuliakan, dan berikan ruang yang sangat istimewa bagi mereka. Itu semua menunjukkan hal yang berbeda daripada yang lainnya.

Tidak perlu banyak argumentasi tentang kemuliaan ilmu; karena mata dan telinga cukuplah menjadi saksi bisu akan keagungannya. Bahkan -sebagaimana ungkapan sebagian- seorang manusia yang tidak berilmu jika dipuji bahwa ia adalah orang yang berilmu/pintar, pasti dia akan merasa senang. Walaupun keilmuan tidak ada pada dirinya. Keadaan akan berbeda jika dia dikatakan sebagai: “orang bodoh”, walaupun sebenarnya ia memang demikian. Sehingga, dengan demikian dari sisi kebanggan, seseorang akan lebih berbangga dengan keilmuan yang dimiliki melebihi bangganya seseorang yang bangga akan harta, kekayaan, ketampanan, kecantikan, jabatan dan kemewahan. Sehingga, ini membuktikan bahwa peluang untuk melakukan kesombongan adalah sangat besar, dan luar biasa besar.

Sehingga, sebenarnya yang perlu bersikap lebih waspada untuk menghindari kesombongan, keakuan, dan keujuban adalah kalangan ulama itu sendiri sebelum orang lain. Dan sebelum menasehati orang lain, hendaknya ia nasehati diri sendiri sebelum orang lain. Karena jika tidak, maka sama saja dengan nasehat yang hanya melewati telinga kanan ke telinga kiri. Dan itu masih lebih baik, karena masih ada yang terlewat. Jika masuk ke telinga, dan nasehatnya mental? Tentu lebih parah lagi.

Untuk menetralisir itu semua, para ulama menulis buku-buku yang secara khusus mengatur bagaimana proses belajar mengajar. Oleh karenanya, di sana diatur bagaimana memilih guru, bagaimana memilih teman, dan bagaimana memilih kitab yang akn dikaji. Itu semata-mata agar proses perjalanan ilmu dapat lancar dan tujuannya dapat dicapai tanpa ada kekurangan sedikitpun. Mungkin, selama ini kita tidak begitu sadar akan tujuan utama dari itu semua. Karena sekali lagi unsur “ke-aku-an” menancap kuat di dalam diri kita, tanpa menyadari akan hal itu. Dan selalu perlu peringatan dan peringatan lagi. Tidak heran jika sepertiga dari Al Quran berisi tentang kisah-kisah inspirasi yang bertujuan menetralisir hal itu semua. Karena manusia itu tidak kapok-kapoknya untuk melakukan kesalahan yang serupa.

 

Abdul Aziz Jazuli

28 Oktober 2017

Leave a Comment

Start typing and press Enter to search