Bedakan Produk Pemikiran dan Keyakinan

Seorang tokoh yang dianut oleh banyak orang, terkadang dapat menutupi mata seseorang untuk berupaya dalam mengkritisinya. Popularitas dapat menutupi kesalahan. Ini senada dengan sebuah ungkapan:

وعين الرضا عن كل عيب كليلة

(Pandangan kerelaan menumpulkan segala kekurangan)

Seperti biasanya, popularitas jika ratingnya semakin naik dan semakin dipuja, maka kesempatan untuk mengkritisinya akan pupus. Jika anda memiliki kekasih, pasti yang anda pikirkan adalah bagaimana menutup mata dari segala macam kekurangan. Itu dapat dipastikan kemungkinannya. Ternyata itu juga berlaku bagi statemen ulama yang sampai saat ini menjadi panutan agama. Islam mengjarkan kita berfikir rasional dan objektif. Dengan menyatakan benar sebagai kebenaran dan sebaliknya. Dan ini diakui oleh siapapun. Karena menolak kebenaran adalah sebuah kesalahan. Juga sebaliknya, membenarkan kesalahan juga tidak tepat. Sehingga, kita butuhkan sikap moderat.

Seorang muslim dituntut untuk memiliki keyakinan yang kuat. Semata-mata untuk menunjukkan keimanan yang diperintahkan oleh Allah. Kemudian apa dan bagaimana iman itu? Tentunya Allah dan Rasulnya sudah menguraikan secara jelas di dalam Al Quran dan Al Hadistnya. Sehingga, dua hal itulah yang menjadi sumber utama dalam berakidah dan berkeyakinan.

Namun patut disayangkan, bahwa akidah yang diyakini oleh banyak orang, jika diteliti. Ternyata akan kita temui bahwa itu merupakan hasil counter-mengcaunter antara dua kubu yang berselisih. Kemudian dinyatakan dalam jumlah tertentu bahwa itulah akidah yang benar dan yang harus diyakini. Dimulai dari batasan keadilan tuhan (Al ‘Adalah) sampai merembet pada kajian Qudroh. Saya tidak menyalahkan perspektif itu. Karena sudah hak mereka untuk menyatakan hasil pemikiran mereka. Tapi menjadikannya sebagai barometer kebenaran dan membatasi kalangan ahlussunnah dengan satu batasan, saya rasa kurang tepat. Bagaimana bisa sebuah produk pemikiran yang bertujuan untuk mengcounter golongan yang lain kemudian menjadi sebuah “doktrin” yang mewajibkan kepada semua orang untuk diyakini. Saya rasa itu kurang fair. Karena sudah begitu banyak ayat dan hadist-hadist mengenai akidah yang menjelaskan secara keseluruhan tentang keimanan dan kepercayaan. Sehingga, selebihnya itu hanyalah pengembangan pemikiran yang bercabang darinya. Bukan pokok utama keimanan.

Amat disayangkan bahwa faham tersebut sudah begitu menyebar luas. Sehingga jika ada upaya untuk mengkritisinya seakan “keluar” dari Islam, keberadaannya akan dicurigai, hasil pandangannya akan digiring dengan kesan yang buruk. Maka upaya pelurusan tidak sukses dan dapat dinyatakan gagal. Ada sebuah pertanyaan yang saya sodorkan: Bagaimana status seseorang yang bukan dari dua golongan yang terpopuler di kalangan para teolog?

14, November 2017

Leave a Comment

Start typing and press Enter to search