Aswaja Menurut Ibnu Abbas ra.

Aswaja Menurut Ibnu Abbas ra.

Di mana-mana kata Ahlussunnah wal Jamaah sudah familiar di kalangan masyarakat. Namun, berbagai macam interpretasi mengenai makna yang dituju untuk kata tersebut. Sehingga, kita memerlukan makna yang difahami oleh para ulama kita. Terlebih dengan ulama-ulama terdahulu.

Penggunaan kata “Ahlussunnah wal Jamaah” belum digunakan pada masa Rasulullah saw, Sahabat dan Tabiin. Sehingga, kata tersebut bukanlah kata Syar’i yang harus diinterpertasikan dengan makna tertentu, dan ketentuan maknanya dapat berwarna tergantung siapa saja yang menginterpertasikan dan menafsirkannya.

Terdapat sebuah riwayat yang dikutip dari Ibnu Abbas bahwa ia menafsirkan ayat 106 surat Ali Imron: “Yauma tabyadhdhu wujuhun wa taswaddu wujuh” (Hari di mana wajah-wajah menjadi putih berseri dan menjadi hitam legam) dengan “Ahlussunnah wal Jamaah“. Dan itu terdapat di dalam tafsir Ibnu Abi Hatim [3/729] yang menjadi rujukan Al-Suyuthi di dalam Ad-Durrul Mantsur [2/291]. Tak hanya Ibnu Abi Hatim yang  mengutip riwayat Ibnu Abbas tersebut, bahkan Al-Baghowi [Ma’alim Al-Tanzil 2/87], Al-Tsa’labi [Al-Kasyf Wal Bayan 3/124] dan para mufassir lainnya seperti Ibnu Katsir [Tafsir Ibnu Katsir 2/92] juga menyebutkan riwayat Ibnu Abbas ini tanpa mengkritisi akan kekuatan riwayat yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas ini. Sehingga, sebagian berkesimpulan bahwa penggunaan kata “Ahlussunnah wal Jamaah” sudah digunakan pada zaman sahabat, tabiin dan generasi-generasi selanjutnya.

Tapi perlu mengkaji kekuatan riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas ini. Dan ternyata riwayat tersebut –sebagaimana yang banyak didapati di dalam riwayat-riwayat di dalam literatur tafsir- ialah riwayat yang maudhu’ (palsu). Dan yang mengungkapkan kepalsuan riwayat tersebut adalah Imam Al-Daroquthni, Al-Suyuti, Ibnu Arroq, dan Al-Syaukani. Karena di dalam sanad periwayatan tersebut terdapat dua orang yang statusnya adalah Kadzdzab (tukang bohong) dan Wadhdho’ (tukang memalsukan hadist) yaitu: Mujasyi’ bin Amr dan Maisaroh bin Abdi Robbih.

Juga di dalam  riwayat yang senada dengan riwayat tersebut dengan redaksi Ibnu Abbas:

النظر إلى رجل من أهل السنة يدعو إلى سنة

Memandang seseorang yang termasuk ahlussunnah dapat mengajak kepada kesunnahan” [Talbis Iblis, Ibnul Jauzi, hlm 13]

Ini juga riwayat yang munkar baik dari sanad dan matannya.

Oleh karenanya, periwayatan-periwayatan yang senada tidak dapat disandarkan kepada Ibnu Abbas. Dan dengan ini, penggunaan kata “Ahlussunnah” tidak terdapat di dalam generasi sahabat. Sehingga, ketika sebuah kata tidak digunakan oleh Syariat (Allah dan Rasulullah saw) dan juga sahabat, maka kata Ahlussunnah bukan kata syari’i yang memiliki kekuatan hukum Syariat. Dan sekali lagi, kata tersebut ialah kata istilah yang terdapat perbedaan interpertasinya antara satu tokoh dengan tokoh lainnya.

Meski demikian, penggunaan kata Ahlussunnah sudah terdapat di dalam generasi Tabi’in. Yaitu Muhammad bin Sirin, beliau berkata:

لم يكونوا يسألون عن الإسناد، فلمّا وقعت الفتنة قالوا: سمّوا لنا رجالكم، فينظر إلى أهل السنة فيؤخذ حديثهم، وينظر إلى أهل البدعة فلا يؤخذ حديثهم.

Mereka pada awal mulanya tidak ditanya tentang sanad, ketika terjadi fitnah mereka (para ulama) berkata: sebutkan nama-nama tokohmu, maka dilihat kepada ahlussunnah maka hadist mereka dapat diambil, dan dilihat apakah ia termasuk ahlul bid’ah maka hadistnya

Dan makna ahlussunnah yang dimaksud di sini adalah golongan yang selain Khowarij dan Syiah. Sebagaimana yang diuraikan oleh Syarif Hatim di dalam Mafhum Ahlussunnah wal Jamaah [hlm11-12].

Kata tersebut hanya terbatas pada “Ahlussunnah” saja, belum terdapat pemambahan “wal Jamaah”. Dan menurut sejarah, kata “Ahlussunnah wal Jamaah” baru  mulai digunakan pada abad ke 3 yaitu pada masa Muhammad Ibnu Sa’ad yang mengkhususkannya kepada golongan selain Syiah saja. Tetapi dengan redaksi “Shohibu Sunnah wa Jamaah”.

Dan tradisi yang berlaku pada masa itu menafsirkan ahlussunnah ialah segolongan yang tidak memiliki laqob/julukan. Sebagaimana yang digunakan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal.

Kemudian dengan berkembangnya zaman, ideologi yang berkembang juga berwarna-warni, dan kalangan muslimin mulai menjadi bergolong-golongan. Dan penyempitan makna mulai berkembang juga. Dan  pada intinya, ahlusunnah wal Jamaah ialah golongan yang terbanyak atau dikenal dengan nama Al-Sawad al-A’dhom.

Dan penulis akhiri dengan kutipan Hadhrotus Syeh KH. Hasyim Asy’ari yang menyatakan bahwa mereka adalah “Golongan terbanyak, yang sesuai dengan idiologi ulama haromain (pada masa beliau), ulama al-Azhar, dan ulama-ulama yang tidak mungkin dapat dihitung jumlahnya yang berada di semua penjuru dunia. Sebagaimana kita tidak mungkin menghitung jumlah bintang-bintang yang dilangit. Dan mayoritas mereka adalah pengikut dari madzha b yang empat” [Ahlussunnah Wal Jamaah, Hadhrotus Syeh KH. Hasyim Asyari, hlm 7]

 

Leave a Comment

Start typing and press Enter to search